This Love
“Kamu masih berhubungan sama anak berandal itu?” tanya Ayah galak. Aku hanya menunduk dan diam saja. “Tari liat Ayah. TARI !!” Sekarang Ayah berteriak, aku melonjak kaget.
“Sabar Ayah. Jangan teriak-teriak gak enak di dengar tetangga. Inget penyakit Ayah.” kata Ibu memperingatkan sambil mengelus dada Ayah. “Tari apa bener kamu masih berhubungan sama Rizal?” tanya Ibu lebih lembut. Aku hanya mengangguk pelan. Ibu menghela nafas.
“Kan sudah Ayah bilang kamu jangan berhubungan lagi sama anak berandal itu. Dia itu anak yang gak benar. Pembuat masalah. Bikin malu saja kamu berhubungan dengan dia.” bentak Ayah.
“Dia punya nama Yah. Namanya Rizal. Dan dia bukan berandal.” Aku memberanikan diri untuk menjawab dan menatap Ayah. Tapi tidak lama aku menunduk lagi.
“Apanya yang bukan berandal? Dia itu pemakai narkoba. Berarti dia itu gak bener dan gak pantes sama kamu.”
“Ayah, itu kehidupan Rizal di masa lalu. Sekarang dia udah berubah dan dia udah berhenti dari pergaulan seperti itu. Dia udah berhenti Yah. Ayah harus ngerti dong.”
“Ayah gak mau mengerti dan Ayah gak mau tahu pokoknya kamu gak boleh berhubungan lagi sama dia. Kalau sampai Ayah tahu kamu berhubungan lagi sama dia, Ayah gak akan tinggal diam. Ngerti kamu!”
“Tapi Yah ..” kataku mencoba melawan.
“Gak ada alasan lagi. Sekarang kamu masuk kamar dan mulai besok jangan pernah berhubungan lagi sama dia.” bentak Ayah semakin keras. Aku menghela nafas dan masuk kamar. Percuma melawan Ayah, gak ada gunanya.
Di kamar aku hanya tiduran saja. Aku tidak bisa tidur apalagi mengerjakan tugas kuliah. Sudah lama aku pacaran dengan Rizal tapi sampai sekarang aku belum mendapatkan restu dari kedua orang tua ku, terutama Ayah. Tiba-tiba HP ku berbunyi, aku melihat sebentar dan langsung menjawabnya.
“Hallo.” sapaku.
“Kamu gak papa?” tanya Rizal cemas.
“Aku gak kenapa-napa kok. Udah biasa. Kamu sendiri gimana?” Rizal tidak menjawab. “Zal, kamu kenapa?”
“Aku baik-baik aja. Tar, apa sebaiknya kita ..”
“Kita udah ngebahas ini beribu-ribu kali dan jawaban aku tetap enggak.” kataku. “Kita udah sejauh ini kita pasti dapetin restu dari Ayah kok. Tinggal nunggu waktu aja.”
“Sampai kapan Tar? Kita udah menunggu dan berusaha selama 3 tahun. Tapi Ayah kamu tetap gak suka sama aku. Ayah kamu benar, kamu bisa dapetin yang lebih baik dari aku.” Rizal menghela nafas. “Aku sayang sama kamu. Dan aku gak mau kamu selalu ribut sama Ayah kamu hanya karena aku.” Beberapa menit aku dan Rizal hanya diam.
“Zal, aku yakin Ayah pasti akan merestui kita. Karena kita udah berusaha 3 tahun kenapa gak kita terusin aja? Kalau kita berhenti sekarang semua sia-sia.”
“Kamu emang keras kepala banget ya?” Rizal tertawa. Aku pun ikut tertawa. “Ya udah sekarang kamu tidur, udah malam. Besok ada kuliah pagi kan? Aku jemput di tempat biasa ya?”
“Suatu hari nanti hubungan kita pasti direstui. Dan kamu akan antar jemput aku dari dan sampai depan rumah. Dan juga tiap malam kamu akan main catur sama Ayah atau nonton bola bareng. Aku sama Ibu yang menyiapkan cemilannya. Kayaknya seru ya?” Aku tertawa membayangkan hal itu tapi Rizal diam. “Aku yakin pasti suatu hari itu akan terjadi. Selamat malam Zal, mimpi yang indah ya. Aku sayang kamu.”
Aku langsung mematikan HP sebelum Rizal mengatakan apa pun.
Setelah ngobrol dengan Rizal hatiku sedikit lebih tenang. Aku pun mengerjakan tugas kuliah ku yang tadinya enggan aku kerjakan.
Pagi harinya, Ayah sepertinya masih marah padaku. Ayah sama sekali tidak berbicara apa pun padaku. Aku pun bicara pada Ayah hanya saat aku mau berangkat ke kampus.
“Tari kamu jangan terlalu keras kepala.” kata Ibu padaku saat di depan pintu. “Ayah cuma ingin yang terbaik untuk kamu. Kamu anak kami satu-satunya. Ibu sama Ayah sayang sama kamu.”
“Tari juga sayang sama Ibu dan Ayah.” Aku pun mengecup pipi Ibu lalu berpamitan. Di depan gang rumahku Rizal sudah berdiri menungguku di samping motornya. Rizal tidak mengatakan apa pun saat aku datang. Dia langsung menyodorkan helm padaku, aku pun memakainya dan langsung duduk dibelakangnya.
Kami tidak langsung ke kampus. Rizal malah berhenti di tukang bubur di pinggir jalan. Alasannya dia mau sarapan dulu. Tapi aku tahu ada apa sebenarnya. Aku hanya memesan segelas teh manis hangat dan menunggu Rizal menghabiskan sarapannya.
“Kamu kenapa?” tanya Rizal setelah selesai sarapan. Rizal menatapku sambil menunggu. Aku menghela nafas. “Jangan bilang gak papa. Aku mau kamu jujur sama aku.” kata Rizal saat aku baru mau bicara. Aku pun menghela nafas lagi.
“Aku emang gak papa kok.” kataku sambil tersenyum. “Aku cuma kepikiran sama omongan Ibu aja tadi pagi. Aku jadi merasa bersalah sama Ibu dan Ayah. Apalagi sama Ayah.” Rizal masih menatapku tapi aku menunduk. Rizal mengelus lembut rambutku.
“Sekarang belum terlambat kok.” kata Rizal tertawa kecil. Aku pun menatapnya dan mengerutkan kening, bingung. “Kayak kataku tadi malam, aku gak mau kamu selalu ribut sama keluarga kamu hanya karena aku. Aku lebih senang lihat kamu bahagia sama keluarga kamu daripada sama aku. Keluarga yang terpenting. Dan aku gak mau kamu jadi anak durhaka karena aku, dosaku makin numpuk dong.” Rizal tertawa.
“Seperti kataku tadi malam juga. Aku gak akan menyerah. Aku sayang sama kamu dan aku mau selalu bersama kamu. Aku kenal banget siapa Ayah ku dan aku yakin suatu saat pasti Ayah bisa berubah pikiran.”
Rizal menghela nafas dan menunduk. “Suatu saat.” Ada nada pesimis dan menyerah dari nada suaranya.
“Dan suatu saat itu pasti akan terjadi. Pasti.” Aku mengangkat wajahnya agar dapat menatapku. “Kita akan tetap bersama dan kedua orangtua ku pasti ngerestuin kita.”
“Tapi..” Aku langsung menempelkan telunjukku di bibir Rizal. Dengan lembut Rizal menurunkannya dan menggenggam tanganku.
“Aku gak bisa ngeyakinin Ayah sendirian. Aku butuh kamu. Jadi aku mohon jangan menyerah. Demi kita.” Aku menatap matanya lama sekali. Rizal pun menutup matanya dan mengecup tanganku yang sedang digenggamannya. Aku berdiri untuk mengecup keningnya.
“Aku sayang banget sama kamu. Sayang banget.”
Rizal pun melepaskan genggamannya dan memelukku. “Berangkat sekarang yuk. Nanti kamu telat.” Rizal melepaskannya pelukannya dan kembali menggenggam tanganku saat menuju motornya.
“Tari, kalau aku masuk Ayah kamu gimana ya?” kata Rizal saat kami ada di depan gang rumahku. Aku tersenyum dan langsung menarik tangan Rizal. “Kamu yakin?”
“Coba aja dulu. Terakhir kali kamu ketemu Ayah udah beberapa bulan yang lalu, udah lama.” kataku. “Kan kamu sendiri juga yang menawarkan diri.” Rizal menarik nafas dalam-dalam dan ikut bersamaku ke rumah setelah memarkirkan motornya.
Saat di depan rumah aku melihat Ayah sedang membaca Koran di teras. Aku melihat Rizal, meyakinkannya dan meremas tangannya. Kami pun memasuki rumah, Ayah yang melihat kami langsung berdiri dan terlihat sangat marah. Baru aku mau mengatakan sesuatu Rizal sudah berbicara duluan.
“Assalamuallaikum Om.” kata Rizal sangat sopan.
“Untuk apa kamu kesini?” tanya Ayah galak. Ibu yang mendengar keributan langsung keluar, Ibu sedikit kaget melihat Rizal.
“Sore Tante.” sapa Rizal, Ibu membalasnya dengan senyuman.
“Saya tanya. Untuk apa kamu kesini?” kata Ayah semakin marah. Ibu mencoba menenangkan Ayah. Aku ingin menjawab tapi Rizal mendahuluiku lagi.
“Saya mau mengantarkan Tari, Om.” jawab Rizal sopan dan sambil menatap Ayahku.
“PERGI KAMU!” bentak Ayah. Ibu mengelus-elus dada Ayah.
“Nak Rizal, Tari kan udah sampai rumah. Sekarang lebih baik kamu pulang, sudah sore juga.” kata Ibu lembut. “Tari, kamu masuk.”
“Sebentar Tante.” Rizal melepaskankan genggamannya dan mengambil sesuatu dari tasnya. “Ini ada oleh-oleh sedikit dari Mama. Semoga Om dan Tante suka dan mau menerimanya.” Rizal memberikannya kepada Ibu tapi langsung di buang oleh Ayah.
“Ayah.” kataku sambil mengambil bungkusan itu. “Ini kan pemberian dari Mamanya Rizal. Ayah gak boleh dong membuang pemberian dari orang lain.”
“TARI MASUK DAN KAMU PERGI!” Ayah menatapku garang lalu menunjuk Rizal.
“Tari kamu masuk, bawa bungkusan itu. Nak Rizal sebaiknya kamu pulang dan sampaikan ucapan terima kasih Om dan Tante kepada Mama kamu.”
“Baik Tante. Kalau begitu saya permisi dulu. Assalamuallaikum.” kata Rizal sopan kepada orang tuaku.
Aku ingin mengantarnya tapi Rizal menolaknya. “Kamu masuk aja. Nanti malam aku telepon ya.” Rizal pun pergi.
“Ayah jahat.” Aku pun memberikan bungkusan itu kepada Ayah dan langsung menuju kamar. Aku mengurung diri di kamar.
Saat makan malam pun aku tidak keluar, aku tidak mau bertemu dengan Ayah. Rizal menelepon dan kami ngobrol hingga pagi.
“Tar, besok kamu libur kan?” tanya Ibu saat kami sarapan.
“Iya. Kenapa Bu?” tanyaku sambil mengaduk-aduk sarapanku.
“Besok Ayah sama Ibu mau lihat pembangunan rumah. Kamu mau ikut gak?” Aku hanya mengangguk tanpa menatap Ayah atau pun Ibu. Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Bu, Rizal boleh ikut?” tanyaku ragu-ragu. Ibu melihat Ayah dan Ayah ingin mengatakan sesuatu, tapi aku mendahuluinya. “Rizal kan ngambil jurusan arsitektur mungkin saja dia bisa bantu. Boleh kan Bu?” Ibu masih menatap Ayah lalu menatapku.
“Ibu sih boleh-boleh aja. Tapi kamu juga harus minta ijin sama Ayah.” Lalu aku menatap Ayah hati-hati.
“Boleh gak Ayah?” tanya Ibu. Ayah menatap Ibu lalu menghela nafas. Lalu mengangguk kaku.
Aku tersenyum pada Ayah. “Makasih ya Yah. Aku berangkat sekarang ya.” Aku berpamitan lalu langsung keluar menunggu Rizal untuk memberikan kabar ini.
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Rizal.
“Besok kamu libur kan?” tanyaku, Rizal mengangguk. “Kalau gitu besok kamu ikut aku, Ayah, sama Ibu ke rumah aku yang lagi dibangun.”
“Ikut kamu? Sama Ayah kamu? Gak papa?”
Aku meletakkan kedua tanganku dibahunya. “Kamu tenang aja. Ayah setuju kok.” Rizal menghela nafas, wajahnya masih menunjukan wajah tidak yakin. “Zal, kamu tenang dong. Ini kesempatan yang bagus untuk mengambil hati Ayah. Tenang ya.”
“Oke.” kata Rizal akhirnya. Aku pun memeluk Rizal.
Besoknya aku, Ayah, Ibu dan Rizal pun pergi ke rumahku yang sedang dibangun. Rizal yang menyetir dan Ayah yang disampingnya, aku dan Ibu di belakang. Selama di jalan kami hanya diam. Hanya sesekali aku dan Ibu berbincang. Beberapa waktu kemudian kami pun sampai.
“Zal, kamu deketin Ayah. Kamu kan anak arsitektur jadi kamu bisa nyambung sama Ayah. Oke.” kataku sambil mengacungkan kedua jempolku.
Rizal hanya diam, akhirnya aku yang bertindak. “Ayah.” Aku pun menarik Rizal manghampiri Ayah. “Yah, Rizal kan kuliahnya berhubungan sama beginian. Jadi pasti dia pasti bisa ngasih saran untuk rumah kita.”
Ayah melihat Rizal dengan tidak yakin. Rizal menenangkan diri lalu mengatakan sesuatu tentang bangunan rumah ini dan beberapa saran. Ayah terlihat takjub, tadinya Ayah ingin tersenyum tapi tidak jad. Malah aku yang tersenyum melihat Ayah dan Rizal yang sangat kaku. Aku pun meninggalkan mereka berdua dan memilih membantu Ibu.
“Ayah, Rizal, dan lainnya kesini. Makan siangnya udah siap.” Teriakku kepada Ayah, Rizal, dan pekerja lainnya. Mereka pun segera ke tempat kami. Aku senang melihat Ayah yang sudah mulai lunak kepada Rizal dan aku harap ini akan berakhirnya baik.
“Awas Om.” Teriak Rizal lalu “Brukk.” Aku melihatnya sekilas lalu segera menuju ke tempat itu. Aku melihat Rizal tergeletak di tanah dengan kepala yang bersimbah darah.
Aku langsung berlutut dan memeluk Rizal. Aku tidak bisa mengatakan apa pun, aku hanya menangis dan memegang kepala Rizal yang penuh darah.
“Tolong Pak. Tolong bawa ke mobil.” kata Ibu. Mereka pun menggotong Rizal kedalam mobil.
Ibu membangunkanku dan menghapus air mataku. Ibu pun memapahku menuju mobil. Aku hanya menangis melihat Rizal.
Sampai rumah sakit Rizal langsung dibawa ke UGD. Kami pun menunggu diluar.
“Tar, lebih baik kita kasih tahu orang tuanya Rizal.” kata Ibu lembut. Aku hanya mengangguk.
Tanpa mengatakan apa-apa Ibu mengambil HP ku kan menghubungi orang tua Rizal. Sampai Ibu Rizal datang Rizal belum keluar dari ruang UGD dan kami belum tahu bagaimana keadaan Rizal.
“Tari.” kata Ibu Rizal kaget saat melihat pakaian yang penuh dengan darah. “Kamu kenapa?”
“Tari tidak apa-apa Bu.” Ibuku yang menjawab. “Saya Ibunya Tari dan itu Ayahnya.” Kata Ibu memperkenalkan diri dan Ayah. Ibu pun langsung menjelaskan masalah yang terjadi sampai Rizal bisa mengalami kecelakaan.
Beberapa waktu kemudian ada Dokter yang keluar dari UGD.
“Bagaimana keadaan anak saya Dok?” tanya Ibu Rizal. Dokter menghela nafas. “Jujur saja Dok.”
“Keadaan saudara Rizal sangat kritis. Dia mendapatnya luka yang bisa dibilang sangat parah dibagian kepala. Dan itu yang membuat saudara Rizal mengalami koma.” Ibu Rizal menangis, aku pun juga. Rizal koma.
Rizal masih ditempatkan di ruang UGD dengan berbogai maam selang yang terhubung ke badannya. Aku tidak tega melihatnya. Aku rindu Rizal yang dulu.
Sudah hampir 5 bulan Rizal koma. Tapi aku dan Ibu Rizal tidak berhenti untuk terus menemaninya dan berdoa untuk kesembuhan Rizal. Sampai akhirnya semua berakhir.
“Bu, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi.” kata Dokter. “Selama ini Rizal dapat bertahan karena alat-alat yang terhubung olehnya. Tapi sebenarnya organ-organnya sudah tidak berfungsi. Apakah Ibu akan terus mempertahannya?” aku mendengarkan pembicaraan itu sambil menggenggam tangan Rizal. Aku tidak ingin Rizal pergi.
“Lepas saja Dok. Menurut saya itu yang terbaik utnuk anak saya.” Air mataku jatuh ditangan Rizal. Aku akan kehilangan Rizal untuk selamanya. Untuk terakhir kalinya aku mencium keningnya.
Siang ini Rizal dimakamkan tepat di samping makam Ayahnya. Ibu Rizal terlihat tegar, dia sudah melakukan hal yang benar menurutnya. Lebih baik dari pada Rizal harus hidup melalui selang-selang itu. Tapi kedua adik Rizal terlihat sangat sedih. Aku merangkul keduanya dan bersedih bersama mereka.
“Bu, maafkan saya. Kalau saja Rizal tidak menolong saya Rizal tidak akan meninggal.” kata Ayah dengan sangat menyesal.
Ibu Rizal tersenyum. “Tidak apa-apa Pak. Lebih baik Rizal yang pergi kalau Bapak yang pergi bagaimana nasib Tari dan Ibu.” Aku membalas senyuman Ibu Rizal.
“Bagaimana dengan Ibu sendiri?” tanya Ibuku.
“Kebetulan saya punya usaha kecil-kecilan dan Rizal juga ternyata mempunyai tabungan yang dia kumpulkan untuk kami. Di keluarga kami pun masih ada jagoan.” kata Ibu Rizal sambil memegang kepala Dani, anak kedua Rizal.
“Kami pulang duluan ya.” pamit Ibu Rizal. Setelah berpamitan mereka pun pulang duluan. Tapi aku masih duduk di samping makam Rizal.
“Rizal anak .. bukan, Rizal adalah lelaki yang baik.” kata Ibu.
“Memang. Rizal itu sempurna. Itu alasannya kenapa aku sangat mencintainya.”
“Maafkan Ayah, Tar.”
Aku mendongak dan menatap Ayah. “Ini bukan salah Ayah. Dia akan melakukan hal yang sama walaupun bukan Ayah yang hampir jadi korbannya. Dia yang terbaik dan takkan tergantikan oleh siapa pun.”
Aku kembali menatap makam Rizal yang mencium nisan Rizal sebelum pergi.
Komentar
Posting Komentar